Sabtu, 15 April 2017

keutungan sebagai tujuan perusahaan



ARTIKEL
KEUNTUNGAN SEBAGAI TUJUAN PERUSAHAAN
Disusun guna memenuhi tugas Matakuliah Etika Bisnis
Dosen pengampu :
Mukhamamad Zulianto, S.Pd., M.Pd.



Oleh :
Rohmat Wahid Arrasy            (160210301056)
Suciati Ningsih Wulandari      (160210301080)
Kartika Nugra Heni                (160210301084)
Ayu Pipih Lestari                    (160210301076)
Mohammad Hekam                (160210301073)

KELAS B

PROGAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017





KEUNTUNGAN SEBAGAI TUJUAN PERUSAHAAN
            Keuntungan sangat erat hubunganya dengan bisnis. Bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide products or services for a profit”. Jadi, bisnis merupakan suatu aktifitas atau kegiatan ekonomi yang tujuanya adalah mencari keuntungan atau laba. Tidak semua kegiatan ekonomi dapat dikatakan dapat menghasilkan keuntungan. Keuntungan atau profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai sistem keuangan. Misalkan saja pertukaran barang (Barter), barter merupakan kegiatan ekonomi yang sama-sama menguntungkan antara dua belah pihak yang saling bertukar barang tetapi hal itu masih belum dapat dikatakan sebagai keuntungan atau profit.
            Robert Solomon menekankan bahwa keuntungan atau profit merupakan buah hasil suatu transaksi moneter. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomis, dimana kedua belah pihak sama-sama menggunakan uang. Jika berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh dilupakan bahwa selalu ada kemungkinan kerugian. Keterikatan dengan keuntungan itu yang menjadi alasan bisnis selalu rawan dari sudut pandang etika. Perusahaan yang bertujuan mencari keuntungan menampilkan lebih banyak masalah etis dan bobot moralnya sering kali lebih berat. Jika meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa batas menjadi upaya pertama dari bisnis, tidak dapat di elakan keberatan dari pihak etika.

1.    MAKSIMALISASI KEUNTUNGAN SEBAGAI CITA-CITA KAPITALISME LIBERAL.
Profit maximalization atau maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam manajemen ilmu ekonomi. Banyak buku pegangan manajemen ekonomi menggarisbawahi faktor ini dengan tekanan besar. Metode kuantitaif yang dipakai dalam manajemen ekonomi mengendalikan keuntungan sebagai tujuan perusahaan. Ekonomi terapan justru mencapai coraknya sebagai ilmu yang sistematis yang memilik kerangka logis yang ketat, karena hanya memandang keuntungan sebagai tujuan perusahaan, sambil melewati semua tujuan lain yang mungkin.
Kalau maksimalisasi keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Mengapa begitu? Sekurang-kurangnya karena alasan bahwa dalam keadaan semacam itu karyawan diperalat begitu saja. Jika keuntungan satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi, memperalat karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Hal itu sesuai dengan statement Immanuel Kant, seorang filsafat jerman pada abad ke-18, menurutnya, prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut: “ hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya, dan tidak pernah sebagai sarana belaka”.
Para ekonom menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah  dan pasti tidak boleh ditafsirkan  sebagai sebuah pernyataan moral. Maksimalisasi keuntungan hanya dimaksud sebagai sekedar model ekonomis  yang diharapkan akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang akan berhasil. Salah besar, jika orang mengukurnya dengan kategori-kategori etika. Model semacam itu selalu berjalan pada taraf abstrak, artinya dengan tidak memperhatikan sekian banyak faktor  yang membentuk kenyataan konkret, termasuk kedudukan serta keadaan para karyawan dalam suatu perusahaan.
Maksimalisasi keuntungan tidak perlu dimengerti secara konkret, sampai meliputi semua seluk-beluk  kegiatan ekonomis, apalagi bertentangan dengan norma moral. Sejarah mencatat pada awal era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas dengan cara sangat tidak manusiawi. Industri sebagai cara berproduksi dengan memakai mesin  pada skala besar-besaran merupakan fenomena baru pada waktu itu. Untuk menjalankan mesin-mesin ditarik pekerja dari daerah pertanian yang miskin. Keadaan ini pertama kali muncul di Inggris pada akhir abad ke-18 dan terutama berkembang di bidang tekstil, baja, dan pertambangan batu bara.
Studi sejarah menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis memang bisa membawa akibat kuarang etis. Hal itu sungguh berlangsung dalam kapitalisme liberal yang melatarbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan negara-negara barat lainnya. Melalui perjuangan panjang dan berat, di negara-negara industri perlakuan kurang etis terhadap kaum buruh lama-kelamaan dapat teratasi. Di negara-negara tersebut kini hak-hak kaum buruh sudah diakui dan kalau masih timbul kesulitan selalu tersedia mekanisme untuk mengatasinya. Dunia bisnis harus belajar dari pengalaman sejarah itu.
 Negara-negara berkembang mulai mengembangkan industrinya baru dalam paru kedua abad ke-20 tidak boleh mengulangi kesalahan masa lalu. Namun demikian, hal itu tidak mustahil terjadi juga, karena upaya-upaya yang di negara-negara maju telah menghindari terulangnya ketidakberesan kapitalisme liberal, di negara berkembang masih lemah, seperti: undang-undang perburuan yang baik, kebebasan serikat buruh, asuransi sosial, asuransi kesehatan dan sebagainya. Kini sebenarnya industri baru tidak boleh dikembangkan lagi tanpa sekaligus mengembangkan juga koreksian terhadap bahaya dari penindasan indutri modern. Dalam zaman  pasca-komunis  sekarang, hal itu mendesak dengan cara baru. Maksimalisasi keuntungan sebagai sebuah model okonomis yang abstrak bisa saja mengakibatkan ketidakberesan etis yang baru.

2.    MASALAH PEKERJA ANAK.
Pekerjaan yang dilakukan oleh anak memang dinilai tidak etis. Masalah pekerja anak ini terjadi dikarenakan berbagai faktor diantaranya karena faktor-faktor ekonomi, sosial dan budaya. Kita harus bisa menilai atau menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pekerja anak. Istilah anak “di bawah umur” harus disamakan dengan batas umur wajib belajar. Tidak praktis sama sekali, kalau anak sudah tidak wajib belajar lagi tetapi belum boleh bekerja. Misalkan saja di dalam kehidupan keluarga anak sering membantu orang tua bekerja seperti membantu panen di sawah. Hal ini dikatakan tidak melanggar etis. Pekerja anak baru menimbulkan etis yang serius dalam zaman industrialisasi.
Ketenagakerjaan Internasional (ILO) pada tahun 1973 mengeluarkan konvvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Negara-negara anggota ILO harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Indonesia baru mengesahkan konvensi tersebut pada tahun 1999 dan menetapkan usia minimum 15 tahun. Betapapun banyaknya usaha menetapkan batas minimum pekerja, masih banyak di negara yang pekerjanya masih muda.
Memperkerjakan anak di anggap melanggar etika. Dalam Declaration of the right of the child, yang diproklamasikan oleh Sidang Umum PBB tahun 1959 dikatakan bahwa “anak harus mempunyai kesempatan penuh untuk main dan rekreasi, yang harus tertuju pada maksud yang sama seperti pendidikan. Dalam rangka itu anak ditegaskan  antaralain : ”anak tidak boleh diterima sebagai pekerja sebelum umur minimum yang tepat, tidak boleh disuruh atau diterima dalam jabatan atau pekerjaan apa saja yang bisa merugikan kesehatan atau pendidikanya atau menganggu perkembangan fisik, psikis dan moralnya.
Memperkerjakan anak di anggap tidak etis karena disebabkan berbagai alasan. Alasan yang pertama bahwa pekerjaan yang diterima anak di bawah usia minimum akan melanggar hak anak untuk bermain dan mengenyam pendidikan. Mereka berhak untuk dilindungi terhadap segala upaya eksploitasi karena mereka tidak dapat melindungi diri. Alasan kedua aalah karena memperkerjakan anak adalah cara bisnis yang tidak fair. Hal ini karena perusahaan menekan biaya seminimal mungkin dengan memperkerjakan anak dengan upah yang rendah guna mencapai keuntungan yang maksimal. Selain itu hal ini juga dengan mempekerjakan anak akan menimbulkan pengangguran bagi pekerja dewasa.
Meskipun memperkerjakan anak dianggap tidak etis, kita harus mampu memandang penyebab anak harus bekerja. Hal ini mungkin dikarenakan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Apabila anak dilarang bekerja sedangkan mereka membutuhkan makan, maka dengan bekerja anak dapat memenuhi kebutuhan dan tidak menjadi anak jalanan. Oleh karena itu, kita harus tahu bagaimana cara alternatif untuk mengatasi masalah pekerja anak. Cara yang pertama adalah dengan menumbuhkan kesadaran dan aksi dari pihak publik konsumen. Cara yang kedua adalah kode etik yang dibuat dan ditegakan oleh perusahaan. Misalkan saja perusahaan mengeluarkan kebijakan dan menegaskan untuk tidak memperkerjakan anak dibawah umur. Perusahaan juga dapat mengembangkan Coorporate Social Responsibility di bidang pendidikan yang tujuanya adalah dengan membantu memberika pendidikan kepada anak yang kurang mampu maupun mengadakan pelatihan keterampilan.
Cara lain adalah melengkapi garmen jualan atau produk lain dengan No Sweat Label, yang menjamin produk itu tidak dapat dibuat dengan menggunakan tenaga kerja anak dengan kondisi kerja yang tidak pantas. Label-label ini tentunya harus dikeluarkan dengan instansi-instansi pemerintah atau swasta yang menjamin kredibilitas tinggi di mata masyarakat. Di Amerika Serikat Kampanye No Sweat Label sudah dijalankan.
Memperjakan anak memang dianggap tidak manusiawi. Namun di Indonesia anak-anak dituntut harus bekerja karena memang diarenakan kebutuhan ekonomi yang mendesak . Pemerintah Indonesia juga telah mengakui  hal ini sehingga mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1987 mengizinkan bahwa anak yang usia minimum sebagai buruh di sektor formal apabila keadaanya benar-benar mendesak. Sebenarnya peraturan ini bertentangan dengan ketentuan batas usia minimum anak tetapi hal ini dilakukan dengan berbagai syarat antaralain anak tidak boleh bekerja lebih dari empat jam, tidak diperbolehkan bekerja di tempat yang mempunyai bahaya atau resiko yang tinggi.

3.    RELATIVASI KEUNTUNGAN
Relativasi keuntungan dapat diartikan seuatu tindakan yang tidak hanya memikirkan atau mengutamakan   keuntungan dalam bisnis melainkan jugaharus mempertimbangkan  etis atau tidak bisnis itu dalam  memperoleh keuntungan. Tidak dapat di pungikiri, pertimbangan etis mau tidak mau berdampak pada keuntungan yang akan diperoleh. Seandainya keuntungan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan suksesnya dalam bisnis maka bisa dikatakan perdagangan heoin, kokain, atau obat-obat terlarang lainnya bisa dikatakan sebagai  good business, karena mendatangkan kuntungan yang sangat banyak. Pedagang narkotika seperti itu justru merupakan bidang dimana usaha bisnis langsung bertolak belakang dengan pertimbangan etis karena tidak merupakan good business sama sekali (good dalam artian moral). Apa yang berlaku tentang bisnis narkotika,sebenarnya berlaku berlaku juga pada bisnis pada umumnya. Binis menjadi tidak etis, kalau hanya memikirkan keuntungan secara mutlak dan dari segi moral dikesampingkan.
Manajemen modern sering disebut sebagai management by objectives sedangkandalam manajemenekonomis salah satu unsur penting adalahcost benefit analysis.Supaya dapat mencapai sukses hasil dalam bisnis harus melebihi dari biaya yang dikeluarkan.Semua ini bisa diterima asalkan tetap disertai pertimbangan etis. Bisnis menjaditidak etis jikakeuntungan dijadikan satu-satunya objectives ataubenefit dengan mengorbankan semua faktor lain. Di satu pihak perlu diakui bisnis tanpa tujuan  profit bukan bisnis lagi. Supaya bisa tahan dalam uji skrining etika, bisnis tidak perlu berubah menjadi karya amal. Bagaimanapun juga keuntungan merupakan unsur hakiki dalam usaha bisnis dan perusahaan mau tidak mau merupakan organisasi for profit. Supaya dapat diterima dimata etika,tidak perlu perussahaan menghilangkan sifat khas itu. Pada taraf ekonomi yang lebih luas peran keuntungan tidak  boleh diabaikan. Seluruh sistem ekonomi pasar bebas akan ambruk kalau keuntungan dicopot dari segala usaha bisnis. Sebagai contoh, kegagalan total sistem ekonomi komunistis di UniSoviet yang disebabkan karena sistem ini sebagai ekonomi berencana tidak mengenal motif keuntungan..Perlu ditekankan Keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif.Banyak  pengarang telah mencoba untuk merumuskan relativitas tersebut dengan cara yang berbeda-beda.seperti Ronald Duska menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose (maksud) dan motive(motivasi). Maksud bersifat obyektif dan motivasi bersifat subyektif. Sebagai contoh kita memberi sedekah pada seorang pengemis supaya bisa makan (maksud),sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Motivasi menjelaskan mengapa kita melakukan sesuatu dan maksud membenarkan perbuatan kita itu. Keuntungan bukanlah maksud dari bisnis.Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis.
Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale menegaskan bahwa manajer yang hanya mengejar keuntungan sama saja dengan pemain tenis yang hanya melihat papan angka tanpa melihat bola. Maksudnya tentu bahwa bisnis mempunyai nilai intrinsik sendiri (misalnya,memproduksi sesuatu yang berguna bagi masyarakat) dan untuk menjadi bernilai tidak harus selalu membawa keuntungan.
Max De Pree membandingkan keuntungan dengan bernapas. Kita tidak hidup untuk bernapas,tetapi tidak mungkin juga kita hidup tanpa bernapas. Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus tapi bukanlah tujuan akhir dari bisnis. Dengan demikian dapat dijelaskan relativitas keuntungan dalam bisnis itu tetep perlu bagaimanapun juga, hanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis atau bahwa profit merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis.
Beberapa cara lain unutuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis tanpa mengabaikan perlunya keuntungan dalam bisnis :
1.    Keuntungn merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan.
2.    Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat.
3.    Keutungan adalah cambuk untuk meningkatkan uasaha.
4.    Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan.
5.    Keuntungan mengimbangi risiko dalam usaha.

4.    MANFAAT BAGI STAKEHOLDER
Suatu cara lain lagi untuk mendekati tujuan perusahaan adalah melukiskan tujuan itu sebagai the stakeholders’ benefit, “manfaat bagi stakeholders”. Konon, istilah stakeholders  untuk pertama kali muncul  pada 1963 dalam sebuah memorandum internal dari Stanford Research Institute, California. Sekarang istilah itu sudah lazim dipakai dalam teori manajemen dan juga dalam etika bisnis. Sukses istilah itu sebagian disebabkan, karena bahasa inggris  di  sini main dengan kata. Istilah ini mirip  dengan  stakeholders, tetapi justru merupakan semacam kritik implisit terhadap tendensi untuk terlalu mengagungkan pentingnya pemegang saham atau pemilik perusahaan. Yang dimaksudkan stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan sutu bisnis atau perusahaan. R. Edward Freeman menjelaskan stakeholders sebagai “individu-individu dan kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh tercapainya tujuan-tujuan organisasi dan pada gilirannya dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Dalam bahasa indonesia kini sering dipakai terjemahan “pemangku kepentingan”.  Stakeholders adalah sumua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan. Stockeholder tentu termasuk stakeholders. Pada pemegang saham sebagai pemilik perusahaan pasti  berkepentingan dengan sepak terjang sebuah perusahaan. Kalau perusahaan memperoleh laba, para pemegang saham mendapat deviden. Kalau tidak, mereka tidak mendapat apa-apa. Mereka jelas membeli saham dengan harapan akan meraih keuntungan. Namun demikian, disamping para pemegang saham ada banyak pihak lain yang berkepentingan juga dengan aktivitas suatu perusahaan. Kita bisa menyebut para manajer yang memimpin perusahaan, para karyawan, para pemasok, para konsumen, masyarakat di sekitar pabrik atau lokasi perusahaan (masyarakat lokal), masyarakat luas, pemerintah, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Kadang-kadang stakeholders dibagi lagi  atas pemangku kepentingan internal dan eksternal. Pemangku kepentingan internal  adalah orang dalam dari suatu perusahaan, orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan. Pemangku  kepentingan eksternal adalah orang luar dari suatu perusahaan, orang atau instansi  yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat, pemerintah, lingkungan hidup. Tetapi garis pemisah antara stakeholders internal dan eksternal tidak selelu bisa ditarik dengan tajam. Misalnya, para pemasok pada umumnya bisa digolongkan antara pemangku kepentingan eksternal. Tetapi jika ada pemasok yang biarpun menjadi perusahaan sendiri hanya memasok barang untuk satu perusahaan saja, ia sebenarnya termasuk pemangku  kepentingan  internal juga. Demikian juga warung-warung kecil yang menyediakan makanan untuk karyawan dari  perusahaan tertentu. Nasib mereka  juga seluruhnya tergantung pada nasib perusahaan. Jika perusahaan menghentikan kegiatannya, mereka semua akan kehilangan sumber pendapatanya.
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah tujuan perusahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat  semua stakeholders. Sekaligus juga disini kita mempunyai kemungkinan baru  untuk membahas segi etis dari suatu  keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis  kalau dalam suatu  keputusan bisnis hanya kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan. Keputusan untuk menutup atau memindahkan suatu unit produksi seperti pabrik boleh disebut  sebagai contoh. Keputusan ini mengandung implikasi etis yang penting. Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus dipertimbangkan, tetapi juga kepentingan darisemua pihak lain, khususnya para karyawan dan masyarakat di sekitar pabrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar