ARTIKEL
KEUNTUNGAN
SEBAGAI TUJUAN PERUSAHAAN
Disusun guna memenuhi tugas
Matakuliah Etika Bisnis
Dosen pengampu :
Mukhamamad Zulianto, S.Pd., M.Pd.
Oleh :
Rohmat Wahid Arrasy (160210301056)
Suciati Ningsih Wulandari (160210301080)
Kartika Nugra Heni (160210301084)
Ayu Pipih Lestari (160210301076)
Mohammad Hekam (160210301073)
KELAS B
PROGAM
STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
JURUSAN
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2017
KEUNTUNGAN
SEBAGAI TUJUAN PERUSAHAAN
Keuntungan
sangat erat hubunganya dengan bisnis. Bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide products or services for a
profit”. Jadi, bisnis merupakan suatu aktifitas atau kegiatan ekonomi yang
tujuanya adalah mencari keuntungan atau laba. Tidak semua kegiatan ekonomi
dapat dikatakan dapat menghasilkan keuntungan. Keuntungan atau profit baru muncul dengan kegiatan
ekonomi yang memakai sistem keuangan. Misalkan saja pertukaran barang (Barter), barter merupakan kegiatan
ekonomi yang sama-sama menguntungkan antara dua belah pihak yang saling
bertukar barang tetapi hal itu masih belum dapat dikatakan sebagai keuntungan
atau profit.
Robert
Solomon menekankan bahwa keuntungan atau profit
merupakan buah hasil suatu transaksi moneter. Profit selalu berkaitan
dengan kegiatan ekonomis, dimana kedua belah pihak sama-sama menggunakan uang. Jika
berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh dilupakan bahwa selalu ada
kemungkinan kerugian. Keterikatan dengan keuntungan itu yang menjadi alasan bisnis
selalu rawan dari sudut pandang etika. Perusahaan yang bertujuan mencari
keuntungan menampilkan lebih banyak masalah etis dan bobot moralnya sering kali
lebih berat. Jika meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa batas menjadi upaya
pertama dari bisnis, tidak dapat di elakan keberatan dari pihak etika.
1.
MAKSIMALISASI
KEUNTUNGAN SEBAGAI CITA-CITA KAPITALISME LIBERAL.
Profit
maximalization atau maksimalisasi keuntungan merupakan
tema penting dalam manajemen ilmu ekonomi. Banyak buku pegangan manajemen
ekonomi menggarisbawahi faktor ini dengan tekanan besar. Metode kuantitaif yang
dipakai dalam manajemen ekonomi mengendalikan keuntungan sebagai tujuan
perusahaan. Ekonomi terapan justru mencapai coraknya sebagai ilmu yang
sistematis yang memilik kerangka logis yang ketat, karena hanya memandang
keuntungan sebagai tujuan perusahaan, sambil melewati semua tujuan lain yang
mungkin.
Kalau
maksimalisasi keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan dengan
sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Mengapa begitu?
Sekurang-kurangnya karena alasan bahwa dalam keadaan semacam itu karyawan
diperalat begitu saja. Jika keuntungan satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan
dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang
bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi, memperalat karena alasan apa saja
berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Hal itu sesuai dengan
statement Immanuel Kant, seorang filsafat jerman pada abad ke-18, menurutnya,
prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut: “ hendaklah
memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya, dan tidak pernah
sebagai sarana belaka”.
Para ekonom
menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan perusahaan tidak
boleh dimengerti secara harfiah dan
pasti tidak boleh ditafsirkan sebagai
sebuah pernyataan moral. Maksimalisasi keuntungan hanya dimaksud sebagai
sekedar model ekonomis yang diharapkan
akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang akan berhasil. Salah besar,
jika orang mengukurnya dengan kategori-kategori etika. Model semacam itu selalu
berjalan pada taraf abstrak, artinya dengan tidak memperhatikan sekian banyak
faktor yang membentuk kenyataan konkret,
termasuk kedudukan serta keadaan para karyawan dalam suatu perusahaan.
Maksimalisasi
keuntungan tidak perlu dimengerti secara konkret, sampai meliputi semua
seluk-beluk kegiatan ekonomis, apalagi
bertentangan dengan norma moral. Sejarah mencatat pada awal era industrialisasi
para pekerja diperalat dan diperas dengan cara sangat tidak manusiawi. Industri
sebagai cara berproduksi dengan memakai mesin
pada skala besar-besaran merupakan fenomena baru pada waktu itu. Untuk
menjalankan mesin-mesin ditarik pekerja dari daerah pertanian yang miskin.
Keadaan ini pertama kali muncul di Inggris pada akhir abad ke-18 dan terutama
berkembang di bidang tekstil, baja, dan pertambangan batu bara.
Studi sejarah
menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis memang
bisa membawa akibat kuarang etis. Hal itu sungguh berlangsung dalam kapitalisme
liberal yang melatarbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan
negara-negara barat lainnya. Melalui perjuangan panjang dan berat, di
negara-negara industri perlakuan kurang etis terhadap kaum buruh lama-kelamaan
dapat teratasi. Di negara-negara tersebut kini hak-hak kaum buruh sudah diakui
dan kalau masih timbul kesulitan selalu tersedia mekanisme untuk mengatasinya.
Dunia bisnis harus belajar dari pengalaman sejarah itu.
Negara-negara berkembang mulai mengembangkan
industrinya baru dalam paru kedua abad ke-20 tidak boleh mengulangi kesalahan
masa lalu. Namun demikian, hal itu tidak mustahil terjadi juga, karena
upaya-upaya yang di negara-negara maju telah menghindari terulangnya
ketidakberesan kapitalisme liberal, di negara berkembang masih lemah, seperti:
undang-undang perburuan yang baik, kebebasan serikat buruh, asuransi sosial,
asuransi kesehatan dan sebagainya. Kini sebenarnya industri baru tidak boleh
dikembangkan lagi tanpa sekaligus mengembangkan juga koreksian terhadap bahaya
dari penindasan indutri modern. Dalam zaman
pasca-komunis sekarang, hal itu
mendesak dengan cara baru. Maksimalisasi keuntungan sebagai sebuah model
okonomis yang abstrak bisa saja mengakibatkan ketidakberesan etis yang baru.
2.
MASALAH
PEKERJA ANAK.
Pekerjaan yang dilakukan oleh anak memang dinilai
tidak etis. Masalah pekerja anak ini terjadi dikarenakan berbagai faktor
diantaranya karena faktor-faktor ekonomi, sosial dan budaya. Kita harus bisa
menilai atau menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pekerja anak. Istilah
anak “di bawah umur” harus disamakan dengan batas umur wajib belajar. Tidak
praktis sama sekali, kalau anak sudah tidak wajib belajar lagi tetapi belum
boleh bekerja. Misalkan saja di dalam kehidupan keluarga anak sering membantu
orang tua bekerja seperti membantu panen di sawah. Hal ini dikatakan tidak
melanggar etis. Pekerja anak baru menimbulkan etis yang serius dalam zaman
industrialisasi.
Ketenagakerjaan Internasional (ILO) pada tahun 1973
mengeluarkan konvvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
Negara-negara anggota ILO harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk
pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Indonesia baru
mengesahkan konvensi tersebut pada tahun 1999 dan menetapkan usia minimum 15
tahun. Betapapun banyaknya usaha menetapkan batas minimum pekerja, masih banyak
di negara yang pekerjanya masih muda.
Memperkerjakan anak di anggap melanggar etika. Dalam
Declaration of the right of the child, yang
diproklamasikan oleh Sidang Umum PBB tahun 1959 dikatakan bahwa “anak harus
mempunyai kesempatan penuh untuk main dan rekreasi, yang harus tertuju pada
maksud yang sama seperti pendidikan. Dalam rangka itu anak ditegaskan antaralain : ”anak tidak boleh diterima
sebagai pekerja sebelum umur minimum yang tepat, tidak boleh disuruh atau
diterima dalam jabatan atau pekerjaan apa saja yang bisa merugikan kesehatan
atau pendidikanya atau menganggu perkembangan fisik, psikis dan moralnya.
Memperkerjakan anak di anggap tidak etis karena disebabkan
berbagai alasan. Alasan yang pertama bahwa pekerjaan yang diterima anak di
bawah usia minimum akan melanggar hak anak untuk bermain dan mengenyam
pendidikan. Mereka berhak untuk dilindungi terhadap segala upaya eksploitasi
karena mereka tidak dapat melindungi diri. Alasan kedua aalah karena
memperkerjakan anak adalah cara bisnis yang tidak fair. Hal ini karena perusahaan menekan biaya seminimal mungkin
dengan memperkerjakan anak dengan upah yang rendah guna mencapai keuntungan
yang maksimal. Selain itu hal ini juga dengan mempekerjakan anak akan
menimbulkan pengangguran bagi pekerja dewasa.
Meskipun memperkerjakan anak dianggap tidak etis,
kita harus mampu memandang penyebab anak harus bekerja. Hal ini mungkin
dikarenakan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Apabila anak dilarang bekerja
sedangkan mereka membutuhkan makan, maka dengan bekerja anak dapat memenuhi
kebutuhan dan tidak menjadi anak jalanan. Oleh karena itu, kita harus tahu
bagaimana cara alternatif untuk mengatasi masalah pekerja anak. Cara yang pertama
adalah dengan menumbuhkan kesadaran dan aksi dari pihak publik konsumen. Cara
yang kedua adalah kode etik yang dibuat dan ditegakan oleh perusahaan. Misalkan
saja perusahaan mengeluarkan kebijakan dan menegaskan untuk tidak
memperkerjakan anak dibawah umur. Perusahaan juga dapat mengembangkan Coorporate Social Responsibility di
bidang pendidikan yang tujuanya adalah dengan membantu memberika pendidikan
kepada anak yang kurang mampu maupun mengadakan pelatihan keterampilan.
Cara lain adalah melengkapi garmen jualan atau
produk lain dengan No Sweat Label, yang
menjamin produk itu tidak dapat dibuat dengan menggunakan tenaga kerja anak
dengan kondisi kerja yang tidak pantas. Label-label ini tentunya harus
dikeluarkan dengan instansi-instansi pemerintah atau swasta yang menjamin
kredibilitas tinggi di mata masyarakat. Di Amerika Serikat Kampanye No Sweat Label sudah dijalankan.
Memperjakan anak memang dianggap tidak manusiawi.
Namun di Indonesia anak-anak dituntut harus bekerja karena memang diarenakan
kebutuhan ekonomi yang mendesak . Pemerintah Indonesia juga telah mengakui hal ini sehingga mengeluarkan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1987 mengizinkan bahwa anak yang usia minimum
sebagai buruh di sektor formal apabila keadaanya benar-benar mendesak.
Sebenarnya peraturan ini bertentangan dengan ketentuan batas usia minimum anak
tetapi hal ini dilakukan dengan berbagai syarat antaralain anak tidak boleh
bekerja lebih dari empat jam, tidak diperbolehkan bekerja di tempat yang
mempunyai bahaya atau resiko yang tinggi.
3.
RELATIVASI
KEUNTUNGAN
Relativasi keuntungan dapat diartikan seuatu
tindakan yang tidak hanya memikirkan atau mengutamakan keuntungan dalam bisnis melainkan jugaharus
mempertimbangkan etis atau tidak bisnis
itu dalam memperoleh keuntungan. Tidak
dapat di pungikiri, pertimbangan etis mau tidak mau berdampak pada keuntungan
yang akan diperoleh. Seandainya keuntungan merupakan faktor satu-satunya yang
menentukan suksesnya dalam bisnis maka bisa dikatakan perdagangan heoin,
kokain, atau obat-obat terlarang lainnya bisa dikatakan sebagai good
business, karena mendatangkan kuntungan yang sangat banyak. Pedagang
narkotika seperti itu justru merupakan bidang dimana usaha bisnis langsung
bertolak belakang dengan pertimbangan etis karena tidak merupakan good business sama sekali (good dalam artian moral). Apa yang
berlaku tentang bisnis narkotika,sebenarnya berlaku berlaku juga pada bisnis
pada umumnya. Binis menjadi tidak etis, kalau hanya memikirkan keuntungan
secara mutlak dan dari segi moral dikesampingkan.
Manajemen
modern sering disebut sebagai management by objectives sedangkandalam
manajemenekonomis salah satu unsur penting adalahcost benefit analysis.Supaya
dapat mencapai sukses hasil dalam bisnis harus melebihi dari biaya yang
dikeluarkan.Semua ini bisa diterima asalkan tetap disertai pertimbangan etis.
Bisnis menjaditidak etis jikakeuntungan dijadikan satu-satunya objectives
ataubenefit dengan mengorbankan semua faktor lain. Di
satu pihak perlu diakui bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi.
Supaya bisa tahan dalam uji skrining etika, bisnis tidak perlu berubah menjadi
karya amal. Bagaimanapun juga keuntungan merupakan unsur hakiki dalam usaha
bisnis dan perusahaan mau tidak mau merupakan organisasi for profit. Supaya
dapat diterima dimata etika,tidak perlu perussahaan menghilangkan sifat khas
itu. Pada taraf ekonomi yang lebih luas
peran keuntungan tidak boleh diabaikan. Seluruh sistem ekonomi pasar
bebas akan ambruk kalau keuntungan dicopot dari segala usaha bisnis. Sebagai
contoh, kegagalan total sistem ekonomi komunistis di UniSoviet yang disebabkan
karena sistem ini sebagai ekonomi berencana tidak mengenal motif
keuntungan..Perlu ditekankan Keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian
yang relatif.Banyak pengarang telah mencoba untuk merumuskan relativitas
tersebut dengan cara yang berbeda-beda.seperti Ronald
Duska menegaskan bahwa kita harus membedakan antara
purpose (maksud) dan motive(motivasi). Maksud bersifat obyektif dan motivasi
bersifat subyektif. Sebagai contoh kita memberi sedekah pada seorang pengemis
supaya bisa makan (maksud),sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan.
Motivasi menjelaskan mengapa kita melakukan sesuatu dan maksud membenarkan
perbuatan kita itu. Keuntungan bukanlah maksud dari bisnis.Maksud bisnis adalah
menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya
sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis.
Kenneth
Blanchard dan Norman Vincent Peale menegaskan bahwa manajer yang hanya mengejar keuntungan
sama saja dengan pemain tenis yang hanya melihat papan angka tanpa melihat
bola. Maksudnya tentu bahwa bisnis mempunyai nilai intrinsik sendiri
(misalnya,memproduksi sesuatu yang berguna bagi masyarakat) dan untuk menjadi
bernilai tidak harus selalu membawa keuntungan.
Max De
Pree membandingkan keuntungan dengan
bernapas. Kita tidak hidup untuk bernapas,tetapi tidak mungkin juga kita hidup
tanpa bernapas. Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus tapi bukanlah tujuan
akhir dari bisnis. Dengan demikian dapat dijelaskan relativitas keuntungan dalam
bisnis itu tetep perlu bagaimanapun juga, hanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa
maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis atau bahwa profit merupakan
satu-satunya tujuan bagi bisnis.
Beberapa
cara lain unutuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis tanpa
mengabaikan perlunya keuntungan dalam bisnis :
1. Keuntungn merupakan tolak ukur untuk
menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan.
2. Keuntungan adalah pertanda yang
menunjukan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat.
3. Keutungan adalah cambuk untuk
meningkatkan uasaha.
4. Keuntungan merupakan syarat
kelangsungan perusahaan.
5. Keuntungan mengimbangi risiko dalam
usaha.
4.
MANFAAT
BAGI STAKEHOLDER
Suatu cara lain lagi untuk mendekati tujuan
perusahaan adalah melukiskan tujuan itu sebagai
the stakeholders’ benefit, “manfaat bagi stakeholders”. Konon, istilah stakeholders untuk pertama kali muncul pada 1963 dalam sebuah memorandum internal
dari Stanford Research Institute, California. Sekarang istilah itu sudah lazim
dipakai dalam teori manajemen dan juga dalam etika bisnis. Sukses istilah itu
sebagian disebabkan, karena bahasa inggris
di sini main dengan kata. Istilah
ini mirip dengan stakeholders, tetapi justru merupakan semacam
kritik implisit terhadap tendensi untuk terlalu mengagungkan pentingnya
pemegang saham atau pemilik perusahaan. Yang dimaksudkan stakeholders adalah
orang atau instansi yang berkepentingan dengan sutu bisnis atau perusahaan. R.
Edward Freeman menjelaskan stakeholders sebagai “individu-individu dan
kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh tercapainya tujuan-tujuan organisasi
dan pada gilirannya dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan tersebut.
Dalam bahasa indonesia kini sering dipakai terjemahan “pemangku
kepentingan”. Stakeholders adalah sumua
pihak yang berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan. Stockeholder tentu
termasuk stakeholders. Pada pemegang saham sebagai pemilik perusahaan
pasti berkepentingan dengan sepak
terjang sebuah perusahaan. Kalau perusahaan memperoleh laba, para pemegang
saham mendapat deviden. Kalau tidak, mereka tidak mendapat apa-apa. Mereka
jelas membeli saham dengan harapan akan meraih keuntungan. Namun demikian,
disamping para pemegang saham ada banyak pihak lain yang berkepentingan juga
dengan aktivitas suatu perusahaan. Kita bisa menyebut para manajer yang
memimpin perusahaan, para karyawan, para pemasok, para konsumen, masyarakat di
sekitar pabrik atau lokasi perusahaan (masyarakat lokal), masyarakat luas,
pemerintah, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Kadang-kadang stakeholders dibagi lagi atas pemangku kepentingan internal dan
eksternal. Pemangku kepentingan internal
adalah orang dalam dari suatu perusahaan, orang atau instansi yang
secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham,
manajer, dan karyawan. Pemangku
kepentingan eksternal adalah orang luar dari suatu perusahaan, orang
atau instansi yang tidak secara langsung
terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat,
pemerintah, lingkungan hidup. Tetapi garis pemisah antara stakeholders internal
dan eksternal tidak selelu bisa ditarik dengan tajam. Misalnya, para pemasok
pada umumnya bisa digolongkan antara pemangku kepentingan eksternal. Tetapi
jika ada pemasok yang biarpun menjadi perusahaan sendiri hanya memasok barang
untuk satu perusahaan saja, ia sebenarnya termasuk pemangku kepentingan
internal juga. Demikian juga warung-warung kecil yang menyediakan
makanan untuk karyawan dari perusahaan
tertentu. Nasib mereka juga seluruhnya
tergantung pada nasib perusahaan. Jika perusahaan menghentikan kegiatannya,
mereka semua akan kehilangan sumber pendapatanya.
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk
mendekati masalah tujuan perusahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan
perusahaan adalah manfaat semua
stakeholders. Sekaligus juga disini kita mempunyai kemungkinan baru untuk membahas segi etis dari suatu keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para
pemegang saham dipertimbangkan. Keputusan untuk menutup atau memindahkan suatu
unit produksi seperti pabrik boleh disebut
sebagai contoh. Keputusan ini mengandung implikasi etis yang penting.
Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus dipertimbangkan, tetapi juga
kepentingan darisemua pihak lain, khususnya para karyawan dan masyarakat di
sekitar pabrik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar